oleh: Sujoko
Dalam menghadapi era globalisasi industri dan perdagangan bebas yang akan datang, berbagai negara di dunia termasuk Indonesia berbenah diri mempersiapkan sumber daya manusianya. Ilmu pengetahuan, teknologi dan seni menjadi perhatian utama dalam upaya pengembangan dan penguasaan sumber daya manusia di masa datang. Upaya yang dilakukan adalah dengan melakukan perubahan terhadap kurikulum pendidikan dasar dan menengah secara Nasional, serta memberikan keleluasaan kepada daerah-daerah untuk menerapkannya sesuai dengan kondisi daerah setempat, yaitu dengan memanfaatkan kurikulum muatan lokal, guru dan proses belajar mengajar. Keberhasilan sebuah proses pendidikan sangat dipengaruhi oleh faktor kurikulum, guru, dan pengajaran atau proses belajar mengajar. Ketiga faktor tersebut saling berkaitan dan tidak dapat dipisahkan satu sama lainnya.
Kurikulum merupakan seperangkat rencana dan pengaturan mengenai tujuan, isi, dan bahan pelajaran, serta cara yang digunakan sebagai pedoman penyelenggaraan kegiatan pembelajaran untuk mencapai tujuan. Sejak tahun 2006 sampai saat ini pembelajaran musik di SMP berpedoman kepada Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP). Materi kurikulum yang harus disampaikan kepada seluruh siswa menitikberatkan kepada pemberian wawasan, pengetahuan, dan keterampilan dalam bidang musik lokal terutama musik Indonesia. Hal itu dapat dilihat dari substansi kurikulum yang menjelaskan bahwa pada kelas VII harus disampaikan tentang musik daerah setempat, pada kelas VIII harus disampaikan tentang musik nusantara Indonesia, dan pada kelas IX, materi yang harus disampaikan adalah tentang musik nusantara dan mancanegara. Dari uraian itu dapat disimpulkan bahwa perbandingan materi bahan ajar yang harus disampaikan kepada siswa antara musik Indonesia (musik daerah setempat dan nusantara) dengan musik mancanegara adalah 3 : 1, atau dengan kata lain dapat dikatakan bahwa materi bahan ajar yang harus disampaikan guru musik di SMP sekitar 75% tentang musik daerah setempat dan nusantara. Dengan demikian, guru dituntut mampu berkreasi dalam upaya mengembangkan bahan ajar musik daerah setempat secara optimal.
Lalu, bagaimana dengan minat belajar musik Melayu dikalangan siswa sekolah menengah? Berdasarkan pengalaman peneliti mengajar seni musik selama sepuluh tahun di daerah Melayu Kepulauan Riau, pada umumnya minat belajar seni musik Melayu di kalangan siswa SMP masih sangat rendah. Mereka lebih suka belajar musik-musik modern seperti musik pop yang memang sesuai dengan perkembangan psikologis mereka pada saat ini. Menurut pengamatan peneliti, rendahnya minat belajar seni musik Melayu di kalangan siswa SMP karena adanya dua faktor penyebab seperti berikut ini.
Pertama, keterbatasan buku-buku sebagai bahan ajar musik Melayu. Kondisi demikian merupakan kendala yang harus segera diatasi. Hal ini sangat berhubungan dengan program dan kebijaksanaan Pemerintah Daerah setempat terhadap usaha pembinaan dan pengembangan musik Melayu, melalui Dinas Pendidikan Provinsi maupun Kabupaten. Dengan adanya kurikulum muatan lokal musik Melayu, dan tersedianya buku-buku penunjang diharapkan dapat menumbuhkembangkan minat belajar dan kreativitas siswa terhadap musik Melayu.
Kedua, siswa belum mengenal pola garap atau aransemen musik Melayu. Melalui pembelajaran musik Melayu di sekolah-sekolah, siswa diharapkan dapat lebih mengenal dan dapat memainkan aransemen musik Melayu secara bersama-sama dalam bentuk ansambel musik sekolah. Dengan demikian, siswa dapat berkreasi sendiri membuat aransemen yang sesuai dengan perkembangan psikologis mereka. Namun demikian, kreativitas mereka harus diarahkan sesuai dengan unsur-unsur yang ada pada musik Melayu.
Pada umumnya, materi bahan ajar dalam rangka pengembangan musik Melayu di SMP secara optimal belum sepenuhnya tercapai. Materi bahan ajar musik Melayu yang selama ini dilaksanakan di SMP hanya sebatas beryanyi dan bermain musik sejenis rebana secara berkelompok yang disebut dengan bermain kompang. Kegiatan pembelajaran seperti itu dari tahun ke tahun terkesan sangat monoton, karena hanya sebatas memainkan pola ritmis yang diulang-ulang. Menurut peneliti, kegiatan pembelajaran seperti itu belum sepenuhnya efektif dalam usaha memotivasi siswa untuk berkreasi dan mengembangkan musik Melayu di sekolah. Secara tekstual, musik Melayu tidak hanya merupakan permainan ritmis, tetapi juga terdiri dari unsur melodi diatonis yang harmonis dan sangat enak didengar maupun dimainkan secara bersama-sama dalam bentuk ansambel musik sekolah. Musik Melayu merupakan warisan budaya yang bernilai tinggi, sungguh sangat disayangkan jika ada anggapan dari beberapa pengajar seni musik bahwa untuk mengajarkan musik Melayu cukup hanya dengan bernyanyi dan bermain kompang.
Sementara itu, beberapa SMP di daerah Kepulauan Riau pada saat ini sudah mempunyai alat musik lengkap seperti band (gitar listrik, gitar bas, keyboard, drumset) beserta sound systemnya, sejumlah rekorder, pianika, alat-alat perkusi, dan sarana pendukungnya (studio/ruang musik dan pentas/panggung) tetapi belum dimanfaatkan dalam mengembangkan kegiatan pembelajaran musik Melayu di sekolah. Sangat disayangkan apabila alat-alat musik dan sarana pendukung yang cukup mahal harganya baik berasal dari bantuan pemerintah maupun swadaya sekolah tersebut cenderung kurang disentuh atau dimanfaatkan oleh guru. Kondisi tersebut disebabkan adanya keterbatasan buku-buku sebagai bahan ajar tentang bagaimana mengelola alat-alat musik tersebut sehingga dapat lebih bermanfaat dalam upaya pembelajaran musik Melayu di sekolah.
Ada anggapan dari beberapa pengajar musik bahwa untuk mengajarkan musik Melayu di sekolah harus sesuai dengan materi yang diajarkan oleh seniman di sanggar-sanggar musik Melayu. Kondisi demikian tentunya akan sulit diwujudkan bagi sekolah-sekolah tertentu, karena adanya beberapa hal yang menyangkut keterbatasan minat dan kemampuan musikalitas siswa disamping keterbatasan sarana alat musiknya terhadap kegiatan belajar musik seperti di sanggar-sanggar. Para siswa dengan kondisi demikian, tentunya akan merasa sulit memainkan aransemen musik Melayu yang sesungguhnya, dengan menggunakan alat-alat musik yang masih asing seperti biola, akordeon, dan gitar gambus (orkes Melayu). Untuk itu, tersedianya buku sebagai bahan ajar tentang bagaimana membuat aransemen musik Melayu yang sesuai dengan pengelolaan alat-alat musik dan sarana pendukungnya di sekolah merupakan hal yang harus segera dipenuhi.
Peneliti ingin menekankan bahwa pembelajaran musik Melayu di SMP tidak selamanya harus menggunakan sarana alat-alat musik Melayu yang sesungguhnya (orkes Melayu). Di sinilah dituntut adanya kreativitas guru dan siswa dalam melaksanakan kegiatan pembelajaran, dan bagaimana mengelola alat-alat musik yang tersedia di sekolah sesuai dengan kondisi dan kemampuan sekolah. Sebagaimana disampaikan oleh Dewantara (1962: 306) bahwa dalam pembelajaran harus berfokus kepada situasi dan kondisi yang ada (kontekstual). Kita dapat mengembangkan kesenian dengan cara meniru, namun tidak mengambil secara utuh dan sebaiknya dikembangkan berdasarkan konteks kultur yang ada. Kita adalah kita, dan bukan kita sebagai orang lain.
Berdasarkan potensi dan permasalahan-permasalahan di atas, dalam pelaksanaan pembelajaran musik Melayu perlu adanya suatu pengembangan bahan ajar yakni ansambel musik sekolah berbasis musik Melayu untuk siswa SMP. Untuk lebih memperjelas potensi dan permasalahan di atas, peneliti mencoba memetakannya pada gambar 1 berikut ini.
Terhadap fenomena-fenomena yang seperti peneliti kemukakan di atas, sangat diperlukan adanya pengembangan bahan ajar yang berbasis musik Melayu dalam bentuk buku. Menyikapi potensi dan permasalahan di atas, peneliti sangat tertarik dan memandang perlu untuk mengadakan penelitian dengan judul “Musik Melayu sebagai Pengembangan Bahan Ajar Ansambel Musik Sekolah untuk Siswa SMP”.
1 komentar:
mari kita kembangkan budaya melayu melalui pendidikan....lanjut kan
Posting Komentar